Ilustrasi bencana alam. Foto :freepik.
JAKARTA, TERKINI.COM-Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penguatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (AMPU-PB) sangat menyayangkan dihentikannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Catur Sudiro, Ketua AMPU menilai dihentikannya pembahasan RUU tersebut disebabkan adanya egosektoral antara eksekutif dan legislatif pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.
“Meskipun disela pembahasan RUU tersebut, kami meyakini pemerintah tidak tinggal diam melakukan berbagai upaya penanggulangan bencana, melakukan tindakan penanganan darurat, dan memulihkan kehidupan warga pascabencana,” kata Catur Sudiro, Ketua AMPU melalui keterangan persnya yang diterima Terkini.com di Jakarta (9/3/2022).
Dikatakan selama lebih dari satu dekade pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sistem penanggulangan bencana Indonesia berkembang pesat, mapan dan melembaga, serta diakui sebagai sistem yang progresif.
“Bagaimanapun, masyarakat sipil mencatat bahwa pengelolaan risiko masih merupakan narasi formal yang belum menjadi gaya hidup; kerancuan kelembagaan dan hubungan pusat – daerah yang harus diperbaiki, perlunya penguatan kelembagaan, tanggap darurat yang perlu lebih trengginas, keterlibatan masyarakat yang lebih inklusif dan bermakna, serta perlunya pengakuan eksplisit tentang peran organisasi kemasyarakatan dalam penanggulangan bencana.” ujarnya.
Ia mengungkapkan, kejadian bencana yang beruntun di sepanjang 2021 dan awal 2022 begitu sangat memprihatinkan dan membutuhkan pengelolaan risiko bencana yang utuh dan paripurna demi melindungi seluruh warga negara dari risiko bencana, sepanjang 2021 telah terjadi terjadi 5.402 kejadian bencana, dan 99,5% dari kejadian sepanjang tahun 2021 merupakan bencana hidrometeorologi.
Catur menuturkan, sejalan dengan amanat Presiden pada saat Rakornas BNPB, Presiden menekankan penanggulangan bencana yang berorientasi pencegahan, infrastruktur yang tangguh, pembangunan yang berorientasi tangguh bencana, dan edukasi bencana yang berkelanjutan.
AMPU-PB memandang pengelolaan risiko bencana yang utuh dan dilaksakan secara disiplin dan konsisten oleh lintas sektor inilah yang dapat mewujudkan Indonesia yang tangguh bencana pada 2044.
Belajar pada pelaksanaan penanggulangan bencana, tinjauan terhadap pembahasan RUU Penanggulangan Bencana, serta perkembangan diskursus dunia tentang penanggulangan bencana, maka AMPU-PB menuntut janji DPR RI dan Pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan RUU Penanggulangan Bencana.
Selain itu AMPU-PB mengusulkan paradigma pengelolaan risiko bencana yang matang dan mutakhir, Pemerintah harus konsisten menerapkan strategi-strategi untuk mencapai target Sendai Framework for Disaster Risk Disaster (SFDRR) dan mencapai Target Sustainable Development Goal’s (SDGs).
Catur menambahkan, AMPU PB berharap kelembagaan PB diperkuat dengan membentuk Kementerian Penanggulangan Bencana Nasional (KemenPBN) / BPBN (Badan Penanggulangan Bencana Nasional) yang menyerupai BAPPENAS. Terakhir pendanaan yang kuat dan akuntabel, adanya dana anggaran penanggulangan bencana sekurang-kurangnya sebesar 2% (dua persen) dari APBN dan APBD untuk tatakelola bencana, bukan mandatory budget sebatas Dana Siap Pakai (Trini/Wan)